Tambang Emas Manggani

LONG FANTASTIC JOURNEY TO THE EQUATOR

Hoi, Ik ben Walther,” seru pria muda berkebangsaan Austria berusia tiga puluh satu tahun berpakaian putih dengan topi bulat berwarna krem itu pada lelaki setengah baya yang memegang papan bertuliskan namanya, ‘’ Walther R. Mijnbouw Maatschappij Aequator”.

Begitulah, pada sore menjelang malam di bulan Januari tahun 1913 itu, di Emmahaven (Teluk Bayur) pria muda yang baru turun dari kapal uap berpenumpang seribuan orang tersebut terlihat girang. Kekhawatirannya tentang tidak adanya teman atau kerabat di daerah yang sangat asing baginya untuk memulai tugas sebagai seorang dokter pada sebuah perusahaan pertambangan yang baru saja membeli hak konsesi penambangan emas dan perak di khatulistiwa sedikit sirna. Kegalauan tentang kemana dia harus pergi setelah kapal merapat di dermaga segera berganti dengan kegembiraan. Tantangan untuk mendapatkan pengalaman hidup di negeri tanpa musim kembali bergelora. Pria itu pastilah pejabat pertambangan yang ditugaskan untuk menjemputnya ke Emmahaven dan kemudian bersama-sama ke tempat penambangan milik Mijnbouw Maatschappij Aequator tersebut.

Merekapun kemudian bersalaman. Walaupun keduanya bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Belanda, namun pria yang baru turun dari kapal itu memiliki dialek Jerman sedangkan pria yang menunggunya berbicara dalam bahasa Belanda yang sudah dipengaruhi bahasa melayu.

Tanpa banyak berbicara lagi karena hari sudah mulai gelap, segera saja mereka menaiki bendi yang sudah disiapkan beserta kusirnya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Seorang kuli pelabuhan yang tadi dimintanya untuk membawakan barangannya yang cukup banyak itu tampak sedikit kesulitan mengangkat barang bawaannya, terutama alat-alat kesehatan dan kebutuhan pribadinya. Sinar kemerahan di langit perlahan mulai sirna. Gemerlap bintang di langit segera menggantikan ufuk merah di atas samudra hindia. Perlahan-lahan bendi tersebut bergerak menuju pusat kota Padang.

“Kita akan menuju hotel Sumatra. Kamar anda untuk beristirahat malam ini sudah dipersiapkan oleh perusahaan di sana. Dari sanalah besok pagi anda akan melanjutkan perjalanan ke Fort de Kock (Bukittinggi) dengan kereta api” kata pria tersebut disela-sela derap sepatu kuda. Dokter Walther masih mencoba mengenali tempat dan bangunan yang dilewatinya sejak meninggalkan pelabuhan tadi.

Ok, Ik ben er klaar voor. Ongeveer hoe lang een reis morgen naar mijn in Manggani. (Ök, Saya siap. Berapa lama kira-kira perjalanan besok ke lokasi pertambangan di Manggani)” jawab Walther lagi-lagi dengan logat Jermannya yang kental.

***

Malam baru saja berlalu. Pagi yang cerah baru saja datang. Sinar matahari yang muncul di antara bukit barisan tampak membayang pada dinding papan licin mengkilat di hotel Sumatra. Walther yang baru saja bangun setelah istirahat separuh malam tampak menikmati secangkir kopi panas dan sepotong roti dengan irisan keju di atasnya. Disampingnya tampak tas perlengkapan kedokteran. Jongos hotel tampak beberapa kali bolak balik membawa barang miliknya ke atas bendi. Kereta ke Fort De Kock akan berangkat pukul sembilan.

Pukul delapan, Walther sudah siap untuk berangkat ke stasiun Padang. Pria separoh baya yang kemaren sore menyambutnya tampak baru sampai di Hotel Sumatra. Pagi ini dia akan mengantarkan dokter Walther ke stasiun Padang untuk memulai perjalanan dengan kereta api ke Payakumbuh.

Bent u klaar voor de volgende reis (Apakah anda sudah siap untuk perjalanan berikutnya)” kata pria tersebut menyapa dokter Walther. Ya, mari kita berangkat jawabnya sambil melangkah menuju bendi yang sedari tadi sudah siap di halaman hotel. Diperlukan waktu sekitar setengah jam dari Hotel Sumatra ke Stasiun Padang. Sesampainya di stasiun, peron keberangkatan terlihat ramai. Hari ini, begitu banyak penumpang kereta api di stasiun ini. Sebagian akan menuju Sawahlunto, sebagian lagi menuju Fort De Kock dan tentunya Payakumbuh. Terlihat juga beberapa ekspatriat di sana, mungkin mereka akan ke Sawahlunto disamping ke Fort De Kock.

Pukul sembilan tepat, asap kereta yang tadi mengepul terlihat semakin pekat, bunyi pluit stasion master sebagai pertanda kereta untuk mulai bergerak sayaup-sayup terdengar. Dokter Walther sudah berada dalam ruang VIP yang disediakan khusus untuk golongan Eropa, baik ekspatriat maupun pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Perlahan-lahan kereta api bergerak meninggalakan stasion Padang yang pertama kali dibangun pada tahun 1864. Perjalanan kereta apai dari stasiun kereta api ini dimulai pada tanggal 1 Juli 1891. Dari Padang, kereta api yang dikelola oleh perusahaan kereta api Swasta Belanda yang bernama Staat Spoorwegen ter Sumatra’s Weskust (SSS) akan bergerak menuju Stasion Padang Panjang yang dibangun tahun 1875. Pada tahun itu baru terdapat 20 stasion yang beroperasi dengan kode stasion 310b. Pada tahun 1924 stasion tersebut bertambah menajadi 21 buah dengan dibangunnya stasion Pasar Oesang. Dengan demikian rute Padang-Padang Panjang akan melewati stasion 310b-4 Lapai sampai dengan stasion 310b-24 Padang Panjang. Perjalanana melewati 20 stasion ini pada waktu itu memakan waktu dan sangat melelahkan. Di dalam kereta, Dokter Walther tersu menikmati keindahan alam Sumatra Barat. Ketakjubannya semakin tinggi ketika kereta melewati air terjun Lembah Anai atau Anai Klof. Kereta berhenti di Padang Panjang sekitar pukul dua saing. Perjalanan yang memakan waktu hampir lima jam tersebut akan dilanjutkan dengan kereta lainnya yang melayani rute Padang Panjang ke Fort de Kock.

Rute Padang Panjang – Fort de Kock mulai beroperasi pada tanggal 1 November 1891. Pembangunan jalur kereta ini dimulai dengan pembangunan stasion Fort de Kock pada tahun 1873 dua tahun lebih awal dari pembangunan stasion Padang Panjang. Rute Padang Panjang-Fort de Kock ini akan melewati 13 stasion. Rute ini akan melewati stasion dengan posisi tertinggi dari permukaan laut di Asia Tenggara yaitu stasion Koto Baroe dengan kode 320a-8. Stasion kereta dari Padang Panjang Fort de Kock menggunakan kode 320a yang dimulai dengan stasion cantine (Kantin) dengan kode 320a-1 dan bereakhir di Stasion Fort de Kock dengan kode 320a-13. Sampai di Fort De Kock, hari sudah sore. Kereta ke Payakumbuh baru ada besok pagi pukul sembilan. Dokter Walther memutuskan unt menginap di Fort de Kock. Berdasarkan saran dari awak kereta, ada dua hotel: Hotel Centrum dan Parkhotel. Dia memilih untuk menginap di Parkhotel yang beralamat di Filetstraat nomor 7. Malam itu, dokter Walther menikmati dinginnya malam Fort de Kock sambil membayangkan indahnya pemandangan disepanjang jalur kereta api. Menurut teman seperjalanannya, perjalanan esok pagi juga akan lebih menarik dan menantang.

Pagi sudah menjelang. Dinginnya Fort de Kock, membuat dokter Walther terlihat malas untuk bangun dari tempat tidurnya. Keharusan untuk sampai di Stasion Aur Tajungkan sebelum pukul sembilan membuatnya bangkit dari tempat tidur. Selesai mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke stasion, dia berjalan ke berada dan memandang ke selatan. Di hadapannya terhampar gunung Marapi dan gunung Singgalang yang berkilau keemasan disinari mentari pagi. Emas, ya perusahaan penambang emaslah yang membawanya ke Sumatra ini untuk menuju equator dimana Mijnbouw Maatschappij Aequator berada. Tiba-tiba lamunannya terhenti ketika, pemilik hotel datang dan memberitahukan bahwa bendi sudah siap untuk berangkat menuju stasion. Kereta akan berangkat pukul sembilan.

Tiba di stasion Aur Tajungkang, penumpang tidak seramai di Padang Panjang atau pun Padang. Hal ini karena tujuan perjalanan kereta hanya dua ke Padang Panjang dan ke Payakumbuh. Pelayanan kereta api Fort de Kock Payakumbuh oleh SSS dimulai pada tanggal 15 September 1896. Pada tahun 1873 stasion Payakumbuh mulai dibangun dan selesai pada tahun 1896. Perjalanan kereta api dari Fort de Kock menuju Payakumbuh melewati 13 stasion dimana 10 stasion diantaranya berada di Afdeeling Agam dan tiga stasion yaitu Simpang Batoeampa, Pilandang dan Pajakombo berada di Aafdeeling Lima Poeloeh Kota. Perjalanan rute ini berbeda dengan dua rute sebelumnya yang dipenuhi dengan rute mendaki. Kali ini jalannya kereta terasa lebih cepat karena jalur menurun.

Dokter Walther, disepanjang jalan, terpesona dengan indahnya Gunung Marapai dan Singgalang, dan takjub dengan keindahan bukit barisan. Pukul sebelas, kereta memasuki stasion Payakumbuh. Tidak adak lagi jalur kereta setelah stasion dan kota ini. Apa yang harus dilakukannya. Dimanakah Manggani? Dengan apa lokasi yang disebut ”at the equator in the jungle of Sumatra” dalam iklan lowongan kerja yang dibacanya dulu bisa dicapai. Dengan siapa dia akan pergi ke sana?

***

(BUKAN SEKEDAR) JEJAK JERMAN DI INDONESIA

Majalah Tempo Nomor 11 tertanggal 17 Mei 2015 dalam rubrik IQRA mengupas secara mendalam sebuah buku yang berjudul Hittlers Griff Nach Asien yang oleh Tempo diterjemahkan menjadi (“Jerman Mencapai Asia”). Kupasan khas ala Tempo dilengkapi dengan aneka gambar, dan tentunya wawancara dengan pengarang buku tersebut, Horst H. Geerken. Tempo sesuai pakemnya, secara tajam menyoroti keberadaan NAZI di Hindia Belanda, lengkap dengan informasi tentang lokasi Kantor pusat plus kantor cabangnya di Hindia Belanda. Tidak lupa pula ditampilkan tokoh yang menjadi aktor utama keberadaan Nazi di Hindia Belanda, Walther Hewel, disertai dengan fotonya pada tahun 1940.

Buku, yang menurut Geerken kepada Tempo disusun dari arsip-arsip rahasia Jerman, mengungkap bahwa Nazi, khususnya Hittler, sangat ingin menguasai kekayaan Alam Hindia Belanda yang melimpah ruah. Walther Hewel datang ke Hindia Belanda saat berusia 23 tahun untuk bekerja sebagai Asisten Administrator pada perkebunan Neglasari di Garut pada tahun 1927. Dia akhirnya suskses menjadi salah satu inisiator berdirinya perwakilan Nazi di Luar Negeri. Buku tersebut, seperti ulasan di Tempo, terus merambat mengulas ke berbagai sisi menceritakan masuknya pengaruh Nazi keIndonesia. Banyak oraganisisi seperti organisasi perjuangan pergerakan, sampai melatih  PETA di masa pendudukan Jepang disebut memiliki aroma Nazi. Tidak ketinggalan cerita penemuan sepatu Lars Tentara Jerman diloakan Surabaya, dan kisah  mesin tik Jerman dan kaitannya dengan Proklamasi. Sepertinya, memang sangat sedikit yang kita tahu tentang apa yang terjadi di Hindia Belanda, di awal abad ke 20 sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menjadi Negara yang berdaulat.

Tidak seperti Geerken yang bukan penulis kemaren sore, saya hanyalah anak bawang (penulis pada status, note dan blog pribadi). Sesungguhnya, bila buku itu diberikan kepada saya, saya tidak akan paham dan mengerti, karena tidak bisa berbasa Jerman. Secara pribadi, saya tidak puas dengan apa yang dikemukan dalam ulasan Tempo. Saya beranggapan kehadiran Jerman di Hindia Belanda sudah ada jauh sebelum NAzi berkuasa di Jerman.

Walaupun tidak memuaskan saya, buku tersebut (dari yang saya baca di Tempo) telah memperkuat asumsi saya tentang Imperialisme Barat di Hindia Belanda. Saya belum menemukan buku atau tautan tentang “Kita orang Hindia Belanda itu memang jajahan Belanda secara administrasi, tetapi dijajah oleh banyak bangsa asing secara ekonomi”.

gunuang-omeh-21.jpgSesudut Pemandangan Manggani Camp 1921-1923 (doc. Andreas Rosenstingl Family)

Asumsi ini tak senganja lahir. Ketika saya sedang melakukan penelitian kecil-kecilan untuk sekedar parintang-rintang, berusaha untuk mendapatkan data dan gambar di dunia maya tentang sejarah dan perkembangan Tambang Emas di Manggani Afdeeling (baca: Kabupaten) Lima Puluh Kota Padangsche Bovenlanden Sumatra’s Westkust (Padang Daratan Sumatra Barat). Tidak satupun gambar tentang Manggani saya temukan.

Tidak seperti Tambang Emas di Salido Pesisir Selatan Sumatra Barat, Tambang emas Lebong Tandai dan Lebong Sawah di Bengkulu yang begitu mudah di dapatkan di dunia maya, tambang emas manggani menjadi begitu misterius. Tidak ada satupun situs di internet yang dapat menyuguhkan gambar-gambar tentang tambang emas di Manggani tersebut (kecuali blog ini parintangrintang.wordpress.com atau yang mengambilnya dari blog ini). Ketika bertanya pada aparatur pemerintah lokal maupun masyarakat Sumatra Barat umumnya, Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya, hampir tidak ada yang mengetahui apa nama perusahaan yang melakukan eksplorasi penambangan di Manggani tersebut. Nama Manggani memang terkenal, akan sangat sulit menemukan foto di tambang emas Manggani koleksi orang Sumatra Barat.

Tidak adanya gambar tentang tambang Emas Manggani di situs Media-KITLV.nl, yang sering menjadi rujukan dalam pencarian gambar-gambar tentang Hindia Belanda (Indonesia di masa Penjajahan), menjadi alasan pertama untuk menyimpulkan bahwa penambangan emas di Manggani tersebut tidak dilakukan oleh orang-orang Belanda. Artinya, karena arsip berupa foto, peta dan lain sebagainya tidak dimiliki oleh  orang Belandan maka tidak ada yang disimpan di Museum Belanda entah di Troppen Museum atau di Perpustakaan Leiden. Kondisi yang sama juga dapat dipertanyakan pada Museum Nasional atau Badan Arsip Nasional apakah mereka memiliki foto-foto tentang penambangan emas di Manggani.

Kesimpulan ini diperkuat dengan kontak tidak sengaja saya sekitar satu tahun yang lalu dengan Andreas Rosenstingl, seorang ahli medis dari Wina Austria. Sapaannya pada sebuah akun, dalam Bahasa Inggris, dengan mencantumkan kata Manggani dan tidak pernah direspon selama berbulan-bulan menarik perhatian saya. Dari sanalah kontak bermula sampai akhirnya saya mendapatkan kisah perjalanan kakeknya, seorang dokter yang bekerja untuk perusahaan yang bernama Mijnbouw Maatschappij Aequator. Dr. Walther Rosenstingle, dua kali bertugas di Manggani, sekitar tahun 1912-1913 dan tahu 1921-1923.

Gunuang Omeh 55Kartu Pos Untuk Dr. Roesnstingl (Koleksi Decampe.net)

Dr. Walther Rosesntingl datang pertama sebagai bujangan sekitar tahun 1912. Dia datang untuk keduakalinya pada tahun 1921 dengan membawa istri yang sedang hamil dan seorang anak perempuan. Pulang ke Austria dengan membawa istri yang sudah hamil sejak di Manggani serta dua orang anak perempuan pada tahun 1923. Dari cucu dari anak yang dibawanya dalam kandungan dari Manggani inilah saya mendapatkan cukup banyak gambar tentang kehidupan di pertambangan emas Mijnbouw Maatschappij Aequator di Manggani. Keluarga tersebut mengoleksi sejumlah gambar antara tahun 1921-1922 tersebut. Gambar di bawah ini adalah foto keluarga Dr. Walther Rosenstingl dengan istri dan ke dua putrinya pada tahun 1922.

Gunuang Omeh 61W. Rosesntingl Family 1922 (Koleksi Andreas Rosenstingl)

Gambar tersebut melengkapi cuplikan jurnal yang saya miliki, yang menyebutkan bahwa di Manggani tersedia fasilitas yang cukup lengkap seperti gudang, perkantoran, base camp karyawan, penginapan, rumah sakit, gedung pertemuan, pembangkit listrik, kereta gantung, kereta pengangkut barang lengkap dengan relnya.

Penjelajahan di dunia maya tentang Mijnbouw Maatschappij Aequator (MM Aequator) ini hasilnya sungguh mengejutkan saya. Kesimpulan tentang imperialisme Barat di Hindia Belanda belumlah final. Fakta tentang Manggani, tempat dimana MM Aequator berada jauh lebih menarik. Ada beberapa informasi penting yang saya dapatkan.  Pertama, sebelum penambangan dilakukan oleh MM Aequator eksplorasi dan eksploitasi penambangan dilakukan oleh West Sumatra Mijnen Syndicaat, dari tahun 1906-1911 dengan direkturnya P. Grammel. Perusahaan ini berdiri di Roterdaam. Eksplorasi oleh West Sumatra Mijnen Syndicaat merupakan pengembangan penambangan emas oleh rakyat yang sudah ada jauh sebelum Belanda menguasai Padangsche Bovenlanden pada awal abad ke 19. Barulah pada tahu 1911 penambangan dilakukan ole MM Aequator, setelah membeli konsesinya dari West Sumatra Mijnen Syndicaat.  Dr. Walther Rosensttingl bekerja di MM Aequator dan berangkat ke Manggani setelah tamat kuliah. Pertanyaannya adalah kenapa MM Aequator lebih memilih dokter Walther Rosenstingl bekerja diperusahaan pertambangan ini. Dia bukanlah dokter berkebangsaan Belanda tetapi berkebangsaan Austria. Bukankah Austria lebih dekat ke Jerman dari pada ke Belanda?

Informasi lainnya adalah adalah dua buah sertifikat saham, berlabel MM Aequator, masing –masing bernilai 100 dan 1000 Gulden. Yang menarik dari sertifikat saham ini adalah digunakannya dua bahasa dalam sertifikat saham tersebut: Bahasa Belanda dan Bahasa Jerman. Pertanyaannya adalah kenapa harus dua bahasa dan kenapa satunya lagi bahasa Jerman. Lokasi MM Aequator berada di Hindia Belanda, jajahan Belanda, Belanda pun bukan jajahan Jerman kala itu.

Hasil lain dari penelusuran itu adalah ditemukannya Kolonial Verslaag yang mencantumkan hak konsesi penambangan untuk wilayah yang disebut Equator selama 75 tahun yang berlaku sejak tahun 1910. Wilayah konsesi penambangan Equator ini meliputi area seluas 987 Ha dengan nilai konsesi sebesar 0,25 Gulden per Ha nya. Pertanyaannya, wilayah konsesinya dalam Kolonial Verslag tahun 1911 itu disebut Equator tetapi nama perusahaannya Aequator.

Semua informasi di atas belum dapat meyakinkan saya sepenuhnya bahwa imperialisme barat sudah berlangsung sejak awal abad ke dua puluh. Saya beruntung, setumpuk dokumen (setelah dicetak) dalam bahasa Jerman dengan judul Geschäftsbericht yang berisikan Geehrte Herren beserta kliping surat kabar tentang MM Aequator dapat saya download dari sebuah situs. Dari laporan tahunan 1912 ditemukan bahwa MM Aequator berpusat di Haag. Akan tetapi sebagian besar komisarisnya berasal dari Jerman. Dua orang komisarisnya (dua nama teratas) berasal dari Gera, yakni George Hirsch dan Huegen Ruckdensel. Dua orang lagi berasal dari Stutgart, yakni Oberst A. von Mangirust dan C. A. Erhardt, serta satu orang dari Berlin yakni D. Von Nimptech. Sedangkan enam orang lainnya dari Belanda. Direkturnya ada tiga orang yakni P. Grammel di Manggani yang tinggal di Fort De Kock (Bukittinggi). P. Grammel adalah mantan direktur West Sumatra Mijnen Syndicaat. Selanjutnya E. B. Young tinggal di Gera-Reus, Jerman dan Z.W. Dekkers jr di Haag Belanda.

Sangat sedikit informasi yang diperoleh tentang siapa pemegang saham begitu banyak perusahaan yang beroperasi di Hindia Belanda. Apakah perusahaan tersebut dimiliki oleh orang Belanda atau oleh orang Eropa non Belanda maupun keturunan Tionghoa. Data yang didapatkan tentang MM Aequator karena komisarisnya kebanyakan berasal dari Jerman,  Laporan tahunannya pun dibuat dalam bahasa Jerman. Dengan demikian pada dasarnya MM Aequator adalah perusahaan milik Jerman yang beroperasi di Indonesia.  Walaupun berpusat di Haag, tetapi dikontrol dari Jerman.

Hal seperti ini mungkin tidak hanya MM Aequator saja. Diperkirakan ada banyak perusahaan lainnya (Maatschappij) yang sahamnya dimiliki oleh orang Eropa non Belanda. Perusahaan tersebut, terutama Cultuur Maatschappij (Perusahaan Perkebunan), kemungkin sahamnya banyak dimiliki oleh orang Eropa Non Belanda terutama Jerman. Di Sumatra Utara khususnya Tapanuli orang sangat mengenal nama Nomensen. Seorang misionaris terkenal dari Jerman. Saya menduga, kehadiran Nomensen tidak hanya menjadi misionaris yang melayani orang-orang Batak tetapi lebih dari itu untuk melayani warga Jerman yang bekerja di berbagai perusahaan, Maatschappij, terutama Cultuur Maatschappij yang tumbuh subur di Tapanuli.

Gunuang Omeh 20Lapangan Tenis CM Halaban (Foto Leo Haas, Koleksi Traian Popescu)

Tidak jauh dari MM Aequator ke arah selatan, masih di wilayah Afdeeling Lima Puluh Kota, terdapat perkebunan teh yang bernama Cultuur Maatschappij (CM) Halaban. Sama dengan MM Aequator, sangat sulit mendapatkan gambar dari situs-situs yang terkait dengan Belanda seperti Media-KITLV.nl dan Troppen Museum yang berisi aktivitas perkebunan teh CM Halaban.

Walaupun sudah hampir menjurus pada satu kesimpulan, saya mendapatkan tambahan informasi yang membuat saya menjadi lebih yakin pada kesimpulan tentang MM Aequator. Pada suatu hari di akhir bulan Juni tahun 2015, saya diajak berteman di dunia maya oleh seseorang yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Dengan nama orang Eropa Timur, tetapi menggunakan bahasa Jerman, saya dikirimi beberapa gambar dengan pengantar “Photograph Leo Haas, Administrator in Manggani 1916-1930, koleksi Traian Popescu.” Sejak saat itu saya berteman dan berbagi informasi dengan Traian Popescu seorang Senior Research Scientist & investigator at HPR Dr. Schaffler GmbH. Dari Traian saya dapatkan berbagai foto tentang land scape, pemukiman, lubang tambang, sungai, air terjun, fasilitas jalan, pasar dan banyak lagi tentang Manggani melengkapi koleksi saya tentang MM Aequator. Saya semakin yakin dengan apa yang saya teliti dan tulis Manggani, Kota Tambang Yang Hilang.

Gunuang Omeh 43Lubang Tambang Manggani (Foto Leo Haas; Koleksi Traian Popescu)

Foto hasil jepretan Leo Has seorang adminsitrator pertambangan yang berasal dari Jerman koleksi Traian Popescu itu sangat banyak jumlah dan ragamnya. Selain tentang foto di Manggani (MM Aequator) ada juga foto di Halaban (CM Halaban). Dari koleksi Traian Popescu ini pula didapatkan gambar tentang orang Eropa yang sedang bermain tennis di Lapangan milik CM Halaban. Mereka semua diperkirakan adalah kolega Leo Haas. Dengan kata lain, yang bekerja di CM Halaban juga orang Jerman. Bukankah banyak orang Jerman yang bekerja di perkebunan sama halnya dengan Walther Hewel yang menjadi Adminsitrator di Perkebunan Neglasari Garut. Bukti bahwa awal bahwa CM Halaban berafiliasi ke Jerman adalah didatangkannya peralatan untuk pabrik teh tersebut dari Jerman seperti disebut sebuah Jurnal.

Gunuang Omeh 44Mesin Pemroses Teh (Foto Leo Haas, Koleksi Traian Popescu)

Secara tidak langgsung ada dua kesimpulan yang saya dapatkan. Pertama, MM Aequator memang bukan perusahaan milik orang atau pemerintah Belanda, tetapi milik orang Jerman yang mempekerjakan banyak orang Jerman. Kedua, imperialisme Eropa terhadap Hindia Belanda seperti dikemukakan di atas sudah berlangsung lama.

Namun demikian perlu dikaji lebih mendalam apa yang sebenarnya terjadi pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di Hindia Belanda. Kebijakan stratesi apakah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dan Hindia Belanda kala itu.

Bermula dari informasi yang sangat mengejutkan saya berupa sebuah dokumen, yang berjudul Foreign Affairs 1920 volume III , setebal 32 halaman (PDF) yang merupakan korespondesi antara pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Secretary of State) dengan pejabat Kementerian Luar Negeri Belanda (The Netherland Misnister for Foreign Affairs). Dokumen tersebut mengungkap tekanan yang dialami pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka implementasi strategi eksploitasi pertambangan sumber daya alam di wilayah Nusantara (Nederland Indische). Artinya imperialisme barat terhadap wilayah Hindia Belanda telah berlangsung sengit saat itu. Tidak hanya negara-negara Eropa tetapi juga Amerika Serikat. Dari temuan dokumen tersebut akhirnya ditemukan sejarah ekslploitasi sumber daya alam Nusantara sebagai bentuk imperialisme barat.

Imperialisme tersebut melalui serangkaian kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah kolonial terkait pertambangan di Hindia Belanda. Kebijakan pertama adalah pembentukan Komisi Khusus Pertambangan (Special Commitee for Mining) atau dalam bahasa Belanda disebut Bijzender Comite voor de Mijnbouw pada tahun 1852 berdasarkan Besluit No 52/1852. Komite ini kemudian berganti nama menjadi Jawatan Pertambangan Kolonial (Colonial Mining Office) yang dalam Bahasa Belanda disebut Dienst van het Mijnwezen. Kebijakan kedua adalah lahirnya undang-undang Pertambangan Hindia Belanda (Indies Mining Law) yang dalam Bahasa Belanda disebut Indische Mijnwet pada tahun 1899. Kebijakan ketiga adalah amandemen pertama dari Indische Mijnwet pada tahun 1904. Setelah dilaksanakannya amandemen ini tahun 1904, dikeluarkanlah ordonansi pertambangan atau Mijnordonnantie pada tahun 1907. Pada tahun 1918, dikeluarkanlah amandemen kedua Indische Mijnwet. Amandemen kedua ini merupakan kebijakan terakhir tentang pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Undang-undang Pertambanggan tersebut secara bertahap memberikan kesempatan pada individu maupun perusahaan untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam melalui pertambangan. Amandemen kedua merupakan puncak dari pemberian hak kepada individu dan perusahaan untuk menguasai konsesi pertambangan. Hak tersebutpun berkembang dari semula hanya untuk individu dan perusahaan Belanda menjadi terbuka bagi bagi negara lainnya termasuk Amerika Serikat.

Gunuang Omeh 57Leo Haas di depan Gedung Societeit Aequator (Koleksi Traian Popescu)

Kembali ke tulisan Tempo edisi 11 tanggal 17 Mei 2015, keberadaan perwakilan Nazi di Hindia Belanda pada saat itu dengan pusatnya di Batavia dengan cabangnya tersebar di Surabaya, Bandung, Medan, Padang dan Makassar pada tahun 1931 mungkin tidak sepenuhnya benar. Bisa saja itu hanya sebuah klub seperti di Manggani yang disebut “Societeit Aequator”. Keikutsertaan seorang warga negara dalam sebuah organisasi di wilayah perantauannya tidak serta merta mengindikasikan sebagai anggota aktif dari organisasi yang ada di negaranya. Mengingat mereka sudah sejak lama tinggal di negara yang jauh dari tempatnya berasal menjadi keanggotaan dari sebuah perkumpulan tentu saja kebutuhan untuk bersosialisasi. Keberadaan MM Aequator dan CM Halaban jauh sebelum Nazi berkuasa (sebagai contoh), tentu menegaskan bahwa Hindia Belanda itu sudah dilirik Jerman jauh sebelum Hittler dengan Nazinya. Laars Sepatu Tentara dan Mesin Ketik yang ada belum tentu semuanya supply Nazi untuk kemerdekaan RI. Bisa saja semua itu adalah peninggalan perusahaan milik Jerman yang diambil oleh para pejuang, ketika perusahaan milik orang Eropa non Belanda (terutama Jerman) menjadi tersia-sia akibat penyerbuan dan pendudukan Belanda oleh Jerman. Sekali Lagi, Manggani Kota Tambang Yang Hilang, bukanlah sekedar jejak Jerman di Indonesia.

JALUR HITAM BERTATAHKAN EMAS DAN PERAK MANGGANI

Hari baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari belumlah terlalu tinggi. Cuaca pagi itu tidak terlalu panas. Di sebuah ruangan di stasiun overweg Payakumbuh, seorang pria Belanda, dengan topi bulat berwarna putih selaras dengan baju pantolannya tampak gelisah. Beberapa kali dia terlihat hilir mudik di dalam ruangan utama stasiun itu. Sesekali asap pipa cangklong yang selalu melekat dibibirnya tampak mengepul deras, persis seperti asap kereta api yang sedang ditunggunya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak seorang pria Tiong Hoa, dengan kumis yang dikucir bercakap-cakap dengan istrinya. Wajahnya pun terlihat tengang, walaupun terlihat lebih rileks dari pria Belanda tadi.

Tiba-tiba, pria Belanda, yang oleh teman-temannya dipanggil Meneer Haan, menghampiri petugas komunikasi Stasiun Overweeg Payakumbuh. Sambil setengah berbisik dia meminta sang operator untuk menghubungi Stasion Aur Tajungkang di Fort De Kock guna memastikan apakah kereta yang ditumpangi Resident Sumatra’s Weskust sudah berangkat. Segera saja petugas itu memutar Fk 14, nomor telpon Stasion Fort De Kock. Dari kejauhan terdengar jawaban bahwasanya rombongan resident masih berada di Hotel Centrum. Karena tidak sabaran pria itu lalu meminta izin pada petugas untuk menelpon ke Hotel Centrum. Segera diputarnya nomor FK 11. Dari seberang terdengar jawaban bahwa rombongan baru saja berangkat menuju stasion Aur Tajungkang. Wajah pria itu terlihat geram. Dia khawatir acara yang sedang dirancangya itu tidak akan terlaksana tepat waktu.

Dibalik kegelisahannya itu, Meneer Haan, lengkapnya Willem de Haan, terhanyut dan melayang dalam pikirannya. Terbayang keuntungan besar yang akan diperoleh perusahaannya dengan dioperasikannya jalur kereta api Payakumbuh-Limbanang yang terdiri dari sembilan stasion itu. Biaya angkut emas dan perak dari hasil tambang di Manggani tentu akan semakin murah. Biaya operasional perusahaan tempatnya bekerja, Mijnbouw Maatschappij Aequator, tentu akan semakin kecil. Sebagai general manajer yang diangkat sejak tahun 1919 pada Mijnbouw Maatschappij Aequator atau pertambangan Manggani dia tentu sangat berkepentingan dengan suksesnya operasi KA api Payakumbuh-Limbanang ini.

Willem de Haan, (mungkin) sebagai seorang insinyur pertambangan, sudah dua tahun diangkat sebagai general manajer pada tahun itu. Perusahaan tambang Mijnbouw Maatschappij Aequator Manggani yang ditemukan pada tahun 1907 merupakan penghasil emas yang sangat penting di Barat dan Utara Sumatera. Dalam perkembangannya, wilayah Manggani merupakan kawasan khusus pertambangan yang memiliki fasilitas yang sangat lengkap. Selain dari fasilitas toko dan barang kebutuhan lainnya, di sana juga terdapat sebuah rumah sakit mini. Dokter yang bertugas di sana pada kurun 1914-1915 di datangkan dari Austria. Manggani merupakan pesona berkilau di sepanjang equator (khatulistiwa) yang menghadirkan emas dan perak.

Atas usulan Willem de Haan dan atas desakan dari pemegang saham Mijnbouw Maatschappij Aequator pada pemerintah hindia Belandalah, jalur kereta api itu dibuka. Sebagian besar biaya pembangunan rel kereta api sepanjang 20 km itu (mungkin) diperoleh dari perusahaan tambang Mijnbouw Maatschappij Aequator ini.

Tidak hanya untuk mengangkut hasil tambang, jalur kereta itu juga diproyeksikan untuk mengangkut seluruh perlengkapan dan kebutuhan hidup yang di datangkan dengan kapal dari Emmahaven (pelabuhan Teluk Bayur). Suplier kebutuhan tesebut adalah Firma milik pria Tionghoa yang juga berada di dalam ruangan tunggu stasion overweg Payakumbuh itu.

Di sudut lain, pria tionghoa yang tadi berbincang-bincang dengan istrinya tampak ditemani oleh dua orang tionghoa lainnya. Pria itu adalah Goan Tjoan Ge pemilik Firma Goan Soen Hin. Dua temannya adalah Tjoa Kong Bie pemilik Tjoa SP perusahaan tembakau dan gambir terbesar di Payakumbuh dan Tjoei Lay Njo pemilik Firma Tjong Hin & Co.

Sebagai orang Tionghoa, tiga orang tersebut memang tidak mendapatkan bagian dari hasil tambang Mijnbouw Maatschappij Aequator tetapi mereka mendapatkan keuntungan penjualan segala kebutuhan hidup pada kawasan pertambangan di Manggani. Disamping itu biaya angkut tembakau dari daerah Baruah Gunung, Banja Loweh dan daerah sekitarnya yang mereka usahakan juga akan semakin kecil. Dengan demikian ada keuntungan timbal balik yang akan mereka peroleh.

Hari itu adalah hari Minggu, tanggal 19 Juni tahun 1921. Hari itu merupakan hari keramaian (Pasar) di Payakumbuh. Pasar Syarikat beberapa nagari di afdelling Lima Puluh Kota sangat ramai pada hari itu. Tidak seperti biasanya, bendera merah putih biru berkibar dimana-mana. Resident Sumatra’s Weskust akan ke Payakumbuh untuk meresmikan dimulainya operasi layanan Kereta Api Payakumbuh-Limbanang, dari stasion overweg Payakumbuh ke stasion Sungai Sirah.

Tiba-tiba lamunan Willem de Han dikejutkan dengan panggilan dari petugas komunikasi stasiun. Petugas kereta api stasion Batu Hampar dengan kode satsiun 320b-24 mengabarkan kereta yang ditumpangi resident Sumatra’s Weskust dan rombongan lainnya baru saja berangkat. Hari memang sudah semakin siang. Orang-orangpun mulai berdatangan ke stasion overweg Payakumbuh. Untuk melihat pertama kali, jalur kereta api baru Payakumbuh-Limbanang mulai dioperasikan. Hampir bersamaan nomor telepon stasion Payakumbuh PJ 6 juga berbunyi. Ada pemberitahuan bahwa sebentar lagi kereta yang ditunggu akan sampai.

Dua jam kemudian, di stasiun overweg Payakumbuh, peresmian jalur kereta api hampir selesai dilaksanakan. Willem De Haan menyelinap ke ruang komunikasi. Dia pergi sebentar untuk memutar nomor Pj 42, mengabarkan kepada stafnya di Mijnbouw Maatschappij Aequator Limbanang akan segera beroperasi.

***

Demikianlah, sejak tanggal 19 Juni 1921, jalur kereta api Payakumbuh – Limbanang mulai beroperasi. Jalur kereta dengan lintasan hitam kereta api Limbanang-Payakumbuh, yang bertatahkan emas dan perak Manggani dan berasapkan tembakau dari Baruah Gunuang, Banja Laweh dan sekitarnya beroperasi selama 12 tahun tiga setengah bulan. Dan hingga Kereta terakhir dari Limbanang, jalur kereta api yang pernah ada ini, dan beberapa sisanya masih dapat dilihat, menjadi sejarah yang hampir saja terlupakan.

***

MENUJU (BARANGKALI) RUMAH SAKIT PERTAMA DI LIMA PULUH KOTA

Gunuang Omeh 42Peta Lokasi Manggani dari Andreas Rosenstingl

Mentari belumlah muncul dari ufuk timur. Sinar kemerahan sebagai pertanda pagi telah datang. Ronanya tampak seperti merahnya tembaga terpanggang panasnya api di tungku pembakaran penempaan pandai besi. Sayup –sayup terdengar kletok bunyi sandal kayu yang dipakai ibu-ibu yang bergegas ke pasar dengan ketiding di atas kepalanya membawa aneka buah dan sayuran ke pasar. Bunyi tersebut semakin mendayu ketika ditingkahi bunyi ganto pedati sarat muatan rumbia yang baru lewat.

Dalam kamar tamu utama rumah peristirahatan milik perusahaan Mijnbouw Maatschappij Aequator yang bersebelahan dengan kantor perwakilan perusahaan tersebut, dokter Walther masih terlihat malas untuk bangkit dari tempat tidurnya. Keletihan akibat perjalanan seharian dari Fort De Kock ke Pajakombo dengan kereta api yang dilanjutkan dengan perjalanan sejauh dua puluh kilometer dari Pajakombo ke Limbanang masih terasa. Keinginan untuk segera melanjutkan tidur sekejap dua kejap lagi hampir saja mengalahkan keinginannya untuk bangkit dari tempat tidur. Alunan harmoni bunyi sandal yang beradu dengan tanah dan bebatuan dengan kerincing bunyi genta pedati lebih menarik hatinya. Sebagai orang muda yang baru saja sampai di daerah timur yang jauh, hentakan bunyi tersebut sungguh menggugah hatinya untuk segera memandang keluar. Menatap pagi yang mulai diselimuti embun. Layaknya sambutan untuk tamu khusus yang baru saja datang.

Memang. Dia adalah tamu khusus. Dokter yang khusus didatangkan dari belahan Eropa untuk bekerja di sebuah rumah Sakit Mini milik pertambangan yang cukup penting di Equator tersebut. Pagi ini dia harus melanjutkan perjalanan ke Manggani. Lokasi pertambangan milik Mijnbouw Maatschappij Aequator itu tinggal dua puluh kilo meteran lagi, sebagaimana yang disampaikan kepala perwakilan Mijnbouw Maatschappij Aequator ketika mereka berbincang-bincang di larut malam yang hening beberapa jam yang lalu.

Goedemorgen, meneer. Speciaal ontbijt voor u bereid. Vertrekt u naar Manggani op 09:00” terdengar suara pelayan tak jauh dari depan pintu kamar ketika dia melangkah keluar dari kamar tidurnya.

Goedemorgen”, jawabnya sambil terus berjalan menuju beranda rumah peristirahatan tersebut. Matanya terus mencari suara yang tadi menarik perhatiannya. Suara tersebut semakin samar bunyinya. Akhirnya tak terdengar lagi dan berganti bunyi derap sepatu kuda yang ditingkahi bunyi lonceng bendi dan dering lonceng sepeda.

Tepat pukul sembilan, mobil khusus yang dimiliki perusahaan sudah menunggunya. Dia belum dapat membayangkan seperti apa rute yang akan ditempuhnya. Apakah masih seperti jalan mendatar yang dilaluinya dari Pajakombo kemarin?.

Mobil segera berangkat. Jalan yang semula datar dan ditingkahi sedikit turunan perlahan mulai menanjak. Sampai dipertigaan Soeliki, mobil berbelok ke kiri. Tak berapa jauh di sebelah kiri dilihatnya keramaian. Suara hiruk pikuk transaksi antara penjual dan pembeli seperti meredam bunyi mobil yang ditumpanginya. Rupanya kesinilah tujuan perjalanan pedati dan orang-orang yang di dengar di subuh tadi. Pagi itu, di hari Senin ke kedua di Bulan Januari tahun seribu sembilan ratus tiga belas, geliat pasar Suliki telah dimulai. Aneka komoditi dijual di pasar tradisional tersebut. Dari berbagai pelosok kampung dan nagari sekitar Suliki masyarakat membawa barang hasil pertanian, hasil kerajinan dan barang olahan dan kebutuhan lainnya. Sangat menarik hatinya. Adakah pasar di Manggani, tempatnya mengenal komoditi lokal? Seperti apakah rumah sakit yang akan menjadi tempatnya bekerja.

Tak mau berlama-lama di pasar itu, mereka segera menghadapi tanjakan, melewati Kurai. Tak beraberapa lama, Pandam Gadang, dengan rumah bergonjong lima tampak cerah disinari matahari. Jalanan terus menanjak. Semakin lama semakin tinggi dan cenderung curam dan berliku. Setelah hampir satu jam yang melelahkan mereka sampai di Koto Tinggi setelah melewati kampuang Muaro dan Lakuang.

Nama daerah yang begitu penting pada zaman itu adalah Poear Datar. Poear Datar adalah sebuah Under Afdeeling di Afdeeling Lima Puluh Kota. Perjalanan menanjak menuju Koto Tinggi dibingkai aliran sungai di sebelah kiri dan tebing curam Bukit Datar yang puncak tertingginya mencapai 915 m di atas permukaan laut (dpl).

Koto Tingg terus dilewati. Di depan terpampang persimpangan. Ke utara menanjak menuju Sungai Sirih dan ke barat laut menuju Poear Datar. Poear Datar terletak pada ketinggian 946 m dpl. Sampai di Poear Datar mobil berbelok ke barat karena ke utara harus melewati jalan kecil menuju Sungai Dadap. Jalanan yang cukup sepi dari Poear Datar harus mereka lewati. Sesekali mobil mereka berpapasan dengan pedati dan truk pembawa emas dan perak ke Pajakombo.

Mobil terus berjalan pelan. Mereka kemudian melewati jembatan yang melintasi sungai Batang Air (BA) Poear. Setelah mrlewati BA Poear mereka terus melaju melewati Kampung Halang. Terkesima dengan pemandangan yang begitu indah, tidak terasa mereka kembali melewati jembatan yang melintasi BA Pagadis yang hulunya ada di Afdeeling Agam. Tidak terlalu lama, mereka kembali melewati jembatan. Kali ini mereka melintasi BA Balioeng yang juga mengalir dari Afdeeling Agam. Akhirnya mereka sampai di Padang Koeriman.

Padang Koeriman adalah sebuah perkampungan yang terletak pada aliran BA Koeriman. Ke utara dari perkampungan Padang Koeriman terletak Bukit Goentoeng yang memiliki ketinggian 1150 rpm dpl. Di sana mereka berhenti sejenak melepas kepenatan dari perjalanan yang cukup melelahkan. Ke tenggara dari Padang Koeriman mengalir BA Koeriman yang cukup besar. Jalan utama yang mereka tempuh sejak berbelok dari Poear Datar tadi adalah jalan menuju Bondjol. Mereka tidak lagi akan mengikuti jalan tersebut. Dari Padang Koeriman mereka akan melanjutkan perjalanan ke arah utara menyusuri pinggang perbukitan Bukit Goentoeng. Manggani camp lokasi yang mereka tuju terletak di seberang Bukit Goentoeng dari posisi mereka beristirahat sekarang.

Gunuang Omeh 21Sesudut Pemandangan Manggani Camp 1921-1922 (doc. Andreas Rosenstingl Family)

Jalan mendaki yang diselingi lembah tersebut membuat hati dokter Walther deg-degan. Tak berapa lama berjalan, mereka bertemu dengan sepasang tembok tinggi menjulang yang menjadi tempat kedudukan besi-besi kekar gerbang kawasan pertambangan manggani miliki Maatschappij Mijnbouw Aequtor.

Dank u God. Ik eindelijk aangekomen hier in Manggani kamp na een reis voor een maand op reis” dia berbisik dalam hati. Ya dia merasa bersyukur setelah melewati perjalanan panjang selama satu bulan akhirnya dia sampai di Manggani. Tempatnya bekerja sebagai dokter untuk pertama setelah tamat fakultas kedokteran di Austria.

Mereka akhirnya sampai di Kantor pusat Maatschappij Mijnbouw Aequtor di lokasi pertambangan di garis khatulistiwa. Beberapa orang berwajah Eropa terlihat hilir mudik memberi instruksi pada mandor. Dari kejauhan terlihat kereta gantung membawa bahan hasil galian dari lubang tambang yang bertingkat-tingkat tersebut. Ada tiga belas lubang tambang yang digali di kawasan pertambangan ini. Lokasinya berada di lereng perbukitan.

Gunuang Omeh 14Pemandangan di lokasi Penambangan Manggani ketika masih dimiliki Mijnbouw Maatschappij Sumatra sebelum dibeli Mijnbouw Maatschappij Aequator

Rumah sakit. Dimana rumah sakit tempatnya bertugas. Belum dia ketahui. Dia sibuk mencari-cari dimana kira-kira rumah sakit terebut berada.

“Ayo segera kita berangkat menuju rumah kediamanmu.” kata petugas yang tadi bersamanya dari Limbanang.

Dengan berjalan kaki mereka bergerak menuju rumah yang akan menjadi tempat kediamannya. Tersebut. Rumah yang sangat sederhana. Berdinding papan. Dengan halaman yang masih gersang karena baru saja dibangun. Hanya dua puluh meter dari rumah dinasnya tersebut. Berdirilah rumah sakit sangat sederhana. Rumah sakit yang lebarnya sekitar 30 meter dengan panjang ke belakang sekitar 10 meter. Terdapat empat pasang jendela yang terletak di kiri dan kanan rumah sakit. Kusennya berwarna putih. Terdapat pavilun kecil yang digunakan untuk melayani pasien dan keluarganya. Dari kejauhan tampak empat mantri pribumi yang selama ini menajdi petugas rumah sakit duduk berjaga.

Besoknya dokter Walther akan memulai tugasnya sebagai dokter pada Rumah sakit kecil (mini hospital) di Manggani camp. Rumah sakit mini ini, sejauh ini dapat dianggap sebagai rumah sakit pertama di Luhak Lima Puluh Kota. Pada tahun 1913 itu, belum ada rumah sakit. Dokter yang ada hanya ada di Fort De Kock.

***

Gunuang Omeh 12Para pekerja di lokasi Penambangan Manggani ketika masih dimiliki Mijnbouw Maatschappij Sumatra sebelum dibeli Mijnbouw Maatschappij Aequator

Beberapa gambar dalam tulisan ini, (1) Peta lokasi kawasan Manggani dan (2) Foto Lokasi rumah sakit dengan kereta gantung melitas di atasnya diperoleh dari cucu Dokter Walther R dan (3) gambar bekas gerbang masuk kawasan Manggani diambil dari cuplikan video perjalanan ke Manggani yang diambil tahun 2007 oleh Yayasan Pedati Emas.

Gunuang Omeh 13Tempat pengolahan emas dan perak di lokasi Penambangan Manggani ketika masih dimiliki Mijnbouw Maatschappij Sumatra sebelum dibeli Mijnbouw Maatschappij Aequator

Gambar (4), (5) dan (6) adalah gambar yang diperoleh dari Tropen Museum yang ditulis sebagai Maatschappij Mijnbouw Sumatra nama perusahaan yang mengelola pertambangan di Manggani sebelum Maatschappij Mijnbouw Aequator.

Wassalam,

Sumber :

https://parintangrintang.wordpress.com/2015/07/31/manggani-kota-tambang-yang-hilang-bukan-sekedar-jejak-jerman-di-indonesia/

https://www.facebook.com/notes/nalfira-pamenan/kereta-terakhir-dari-limbanang/10152196717088077

 

Tinggalkan komentar