Warga Aia Angek Ingin Mencicipi Buah Kemerdekaan

Kondisi jalan di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Minggu (16/08/2020). erz
Kondisi jalan di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Minggu (16/08/2020). erz

JERNIHNEWS.COM- Udaranya sejuk, jeruknya manis legit dan rumah-rumah warganya dibangun bak sistem terassering mengikuti bentuk serta lekuk bebukitan. Itulah sedikit tentang Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Saat Republik Indonesia telah genap berusia 75 tahun, warganya sangat ingin mencicipi buah kemerdekaan yang sesungguhnya.

Monumen Nasional PDRI yang dibangun di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi yang hingga kini masih terbengkalai. Masyarakat sudah menyumbangkan 50 hektar tanah untuk monas ini. NETMonumen Nasional PDRI yang dibangun di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi yang hingga kini masih terbengkalai. Masyarakat sudah menyumbangkan 50 hektar tanah untuk monas ini. NET

Jorong Aia Angek berjarak lebih kurang 60 KM dari pusat Kota Payakumbuh ke arah Barat Laut atau 180 KM dari Kota Padang, Ibukota Sumatera Barat. Aie Angek merupakan daerah bersejarah, karena masih bagian dari Nagari Koto Tinggi yang dulu pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1949. Saat itu Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Syafruddin Prawiranegara.

Jeruk Jesigo komoditi unggulan Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh, yang juga banyak di Jorong Aia Angek. NetJeruk Jesigo komoditi unggulan Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh, yang juga banyak di Jorong Aia Angek. Net

Karena daerah ini dianggap sangat bersejarah bagi perjalanan Bangsa Indonesia dan berjasa besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, maka di Koto Tinggi dibangun monumen PDRI. Posisi monumen itu berada di tengah Pasar Koto Tinggi atau di depan Kantor Wali Nagari Koto Tinggi. Di era, pemerintahan Presiden SBY, digagas mega proyek pembangunan monumen nasional yang baru dengan anggaran Rp1,3 triliun.

Untuk bangunan monumen nasional PDRI yang baru dibutuhkan lahan seluas 50 hektar. Lahan yang dibutuhkan memang cukup luas dan mesti satu hamparan. Tentu saja bukan hal mudah mencari atau mendapatkan lahan seluas itu. Di tengah-tengah upaya pencarian lahan, masyarakat Aia Angek pun rela memberikan lahan mereka seluas 50 hektar. Bahkan ketika pemerintah menyatakan masih butuh lagi lahan seluas 100 hektar untuk fasilitas pendukung, masyarakat Aia Angek pun menyatakan kesiapan mereka menyediakan lahan itu.

Harapan mereka hanya satu, agar kampung mereka maju. Jalan sepanjang 2 KM di kampung mereka dari perbatasan Sungai Siriah sampai ke perbatasan Nagari Baruah Gunuang, bisa diaspal beton hingga bagus oleh pemerintah. Sebagaimana bagusnya kualitas jalan aspal yang melintasi nagari-nagari lainnya di Kecamatan Gunuang Omeh. Ya, jalan sepanjang 2 km yang membelah Jorong Aia Angek kondisinya sangat buruk. Berlobang-lobang, becek, tak ubahnya seperti kubangan kerbau di kala hujan.

Sejak Indonesia merdeka, belum pernah jalan Jorong Aia Angek diaspal. Kecuali hanya satu kali saja. Saat periode pertama kemenangan Alis Marajo sebagai Bupati Limapuluh Kota. Itu pun hanya aspal siram atau aspal yang dibakar di lokasi proyek. Bukan aspal beton. Setelah lebih kurang 15 tahun pula lamanya, kini seupil pun aspal siram itu tak bersua lagi. Kondisi jalan Aia Angek kembali seperti di zama orde baru. Bahkan makin parah. Ya, jalan Aia Angek paling buruk jika dibanding 7 jorong lainnya di Nagari Koto Tinggi.

Wartawan jernihnews.com, Yon Erizon pernah berkunjung ke Aia Angek tahun 1991, berpendapat jalan di kampung Ketua LIPI Fauzan Ali itu sekarang ini kondisinya semakin parah. Dulu belum banyak warga yang punya mobil, sehingga jalan masih terjaga. Kini berbagai jenis kendaraan yang melintas di jalan ini, seperti minibus, pick up bahkan juga truck. Mantan Ketua DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Saparuddin yang kini menjadi anggota DPRD Sumbar, saban hari juga melewati jalan buruk itu.

Rupanya sumbangan 50 hektar tanah oleh warga Aia Angek untuk pembangunan Monas PDRI tidak sesuai harapan. Masih jauh panggang dari pada api. “Meski pun sampai kini pemberian tanah itu masih terkesan sia-sia, tapi kami tetap rela. Kami ikhlas. Harapan kami, Jorong Aia Angek kampung kami ini bisa maju. Sehingga kami bisa mencicipi buah kemerdekaan,” kata Widra Effendi, tokoh masyarakat Aia Angek, Minggu (16/08/2020).

Ada apa gerangan, mengapa jalan sepanjang 2 KM di Jorong Aia Angek selalu saja terlupakan perbaikannya oleh pemerintah dari tahun ke tahun? Bahkan dari orde lama ke orde baru, lalu beralih ke orde reformasi, namun jalan Aia Angek selalu luput dari sentuhan pembangunan.

Menurut Widra, di masa orde baru Aia Angek adalah basis kuat PPP. Sedangkan yang berkuasa di kala itu adalah Presiden Soeharto yang merepukan representasi utama Partai Golkar. Setiap pemilu pada masa orba, yang menang telak di Jorong Aia Angek selalu PPP. Ketika itu, parpol hanya tiga, yakni PPP, Golkar dan PDIP. Begitulah politik di masa orba. Di mana Golkar kalah, maka pembangunannya akan tertinggal.

Malangnya bagi Jorong Aia Angek, sudah 22 tahun orba berakhir dan sudah selama itu orde reformasi bergulir, tapi kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap kondisi jalan Jorong Aia Angek tidak juga berubah. “Gubernur Sumbar Pak Irwan Prayitno juga sudah pernah berkunjung ke Aia Angek ini. Dia sudah berjanji akan mengalokasikan dana khusus untuk perbaikannya. Namun, masalahnya, Bupati Limapuluh Kota sekarang ini yang tidak mau menerima anggaran tersebut. Sehingga Pak Gubernur juga tak bisa berbuat jauh soal ini. Tentu kami masyarakat Aia Angek yang sangat dirugikan,” ujar Widra.

Persoalan Aia Angek rupanya tidak saja sekedar buruknya jalan. Tapi juga masalah sarana komunikasi. Sinyal telepon selular tidak ada di jorong ini. Akibatnya, masyarakat Aia Angek yang umumnya kini berladang jeruk Jesigo (jeruk siam gunung omeh) tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka tidak dapat dengan cepat berkomunikasi dengan toke atau pembeli, baik yang ada di Pasar Koto Tinggi, di Pasar Payakumbuh atau pun di Padang, Pekanbaru, Jakarta dan daerah lainnya. Tentu saja mereka tidak bisa memasarkan jesigo secara online. Karena untuk sekedar menelepon saja sinyal tidak ada, apalagi untuk akses internet. Kondisi seperti itu tentu juga membuat PBM daring di masa pendemi Covid-19 menjadi sesuatu yang sangat mustahil.

Mulyadi Muslim, Lc, MA, salah seorang akademisi di Kota Padang yang baru pertama kali berkunjung ke Aia Angek, sehari menjelang peringatan HUT RI ke-75, sangat terenyuh dengan kondisi Aia Angek. Dia tak menyangka nama Nagari Koto Tinggi yang namanya begitu harum dan sangat dikenal dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, ternyata kondisi salah satu jorongnya sangat memprihatinkan.

“Ini sungguh di luar nalar kita. Zaman berganti, orde bertukar, tapi kondisi infrastruktur di jorong ini di luar dugaan kita. Ini mesti menjadi perhatian serius pemerintah,” kata Mulyadi.

Imam Hipa, salah seorang tokoh perantau Nagari Koto Tinggi di Jakarta turut prihatin dengan kondisi infrastruktur di Aia Angek. Menurutnya, kondisi Aia Angek saat ini, tak obahnya seperti belum berada di zaman kemerdekaan. Selaku putra Koto Tinggi, dia tidak bangga dengan keberadaan Monas PDRI yang terbengkalai. Namun, dia merasa bangga sekaligus hormat kepada masyarakat yang telah ikhlas menyerahkan puluhan hektar tanahnya untuk dijadikan lahan tempat berdirinya monas PDRI yang proyeknya mangkrak sejak beberapa tahun lalu. Padahal jika lahan tersebut dijadikan sebagai kebun jeruk, tentu hasilnya akan berlimpah.

“Tampaknya dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim, harapan masyarakat Aia Angek hanya memjadi mimpi. Karena itu, menurut hemat kami, sebaiknya masyarakat Koto Tinggi harus bersatu dalam menyeleasikan persoalan ini. Sehingga ada perubahan. Tidak janji-janji lagi,” kata Imam Hipa melalui sambungan telepon dari Jakarta. (yon erizon).

Sumber : Jernihnews.com

Tinggalkan komentar