Jeruk Siam Gunuang Omeh

jesigoJESIGO

(Jeruk Siam Gunuang Omeh)

Gunung Omeh menjadi sentra jeruk di Sumatera Barat. Hampir 20% produksi jeruk di provinsi Urang Awak berasal dari Gunung Omeh. Pada 2008 jeruk itu dirilis sebagai varietas unggul nasional dengan nama jesigo alias jeruk siam gunung omeh.

Menurut Ir Yustiadi dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat, jesigo memang tergolong unggul. Citarasanya manis tanpa  rasa pahit yang biasa melekat pada siam. Sosok jesigo juga jumbo: bobot 300 – 400  g per buah. Itu jauh lebih besar ketimbang siam lainnya seperti siam madu 90 – 250 g per buah. Daya simpan jesigo pun jauh lebih lama, mencapai 18 – 22 hari. Lazimnya siam hanya bertahan 10 – 15 hari.

 

Ditentang

Sukses Gunung Omeh menjadi sentra jeruk di Tanah Andalas tak lepas dari jerih payah M Yunis Tengku Sutan. Dialah orang pertama yang mengebunkan jeruk di Gunung Omeh. Dua puluh delapan tahun silam Yunis menanam 225 siam di lahan seluas setengah hektar. ‘Ketika itu belum ada sejarahnya di Gunung Omeh orang mengebunkan jeruk. Saya pun ditentang dan ditertawakan karena menanam jeruk,’ tutur ayah tiga anak itu.

Toh, Yunis tak surut melangkah, Citrus nobilis tetap ditanam. ‘Saya pernah merantau ke Kamang, Kabupaten Agam. Di sana banyak pekebun sukses karena menanam jeruk. Tingkat ekonomi di sana jauh lebih bagus ketimbang warga Gunung Omeh,’ ungkap Yunis.

Pohon-pohon pisang di kebun seluas 0,5 ha ditebang, diganti dengan bibit siam. Harap maklum pisang dianggap tak menguntungkan karena terserang layu fusarium dan layu darah. Bibit berasal dari Bangkinang, sentra jeruk di Pekanbaru, Riau. Setahun pascatanam, pada 1983, Yunis mulai menuai hasil.

Buah pertama rasanya manis segar, kulit buah jingga. Yang istimewa sosok buah lebih besar ketimbang jeruk yang ditanam di Bangkinang. Padahal Yunis menanam jeruk di ketinggian 900 m dpl. Berbeda dengan habitat asal bibit di Bangkinang yang tergolong dataran rendah.

Pada umur 8 – 15 tahun jesigo mencapai puncak produksi. Satu pohon menghasilkan 100 kg per musim. Yunis menjualnya ke Pekanbaru seharga Rp10.000 – Rp13.000 per kg. Itu jauh lebih mahal ketimbang jeruk setempat yang hanya Rp5.000 – Rp7.000 per kg.

Menurut Ir Agus Sugiyatno, peneliti di  Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Kotamadya Batu, Jawa Timur, jesigo menjadi lebih berkualitas karena kondisi lingkungan mendukung. Bibit jesigo kemungkinan menyukai dataran tinggi untuk tumbuh optimal. Wilayah Gunung Omeh terhampar di ketinggian 712 – 1.449 m dpl.  Meski berada di dataran tinggi cahaya matahari tetap penuh sepanjang siang. ‘Secara genetis bibit telah memiliki sifat unggul. Saat kondisi lingkungan mendukung, sifat itu muncul optimal,’ kata Agus.

Meluas

aie-angek-194

Setelah 15 tahun, impian Yunis mengubah nasib lewat jeruk pun terwujud. ‘Saya bisa naik haji berkat jeruk pada 1997,’ katanya. Sejak itu warga yang semula menentang, malah mengikuti jejaknya. Mereka berbondong-bondong menyulap lahannya yang semula ditanami pisang menjadi kebun jeruk. Anggapan tak mungkin berhasil berkebun jeruk di Gunung Omeh pun kandas.

Kini tercatat 350 ha lahan warga di Gunung Omeh ditanami jeruk. Mereka tergabung dalam Kelompok Tani Fajar Harapan, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Yunis pun memperluas kebunnya menjadi 1,5 ha pada 2005. Terdapat 500 pohon yang ditanam dengan jarak 5 m x 5 m.

Sejak dirilis menjadi varietas unggul nasional 2 tahun silam, penanaman bibit jesigo pun meluas hingga ke luar Gunung Omeh. Beberapa daerah dengan agroklimat mirip Gunung Omeh ikut mengembangkan jesigo seperti Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Sumber : http://suaranagari.com/category/news

Tinggalkan komentar